Recent Post

Recent Comment


Pengikut


Selamat Datang di Blog HANY.COM, Semoga Anda Senang, Terimakasih Atas Kunjungan Anda

Senin, 31 Mei 2010

Analisa Peningkatan Mutu Pendidikan

A. Humanisasi Pendidikan

Tujuan pendidikan adalah menciptakan manusia menjadi individu-individu yang bermutu, berwawasan luas serta mampu berinterkasi dengan lingkungannya. Tujuan di atas akan dengan sendirinya tercapai ketika materi pendidikan mampu terimplementasikan ke dalam jiwa dan pikiran peserta didik. Guna memenuhi kebutuhan tersebut, maka iklim pendidikan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga bisa tercipta proses pendidikan yang humanis.

Humanisasi di sini menempatkan peserta didik pada derajatnya sebagai manusia seutuhnya. Peserta didik bukanlah obyek penjejalan ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih diproporsikan pada eksistensinya sebagai subyek. Karena pada dasarnya humanisasi pendidikan adalah media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan.

Sementara itu, mengenai kapitalisme pendidikan sendiri Ivan Illich, kritikus pendidikan yang banyak melakukan gugatan atas konsep sekolah dan kapitalisasi pendidikan, mengatakan bahwa kita harus mengenali keterasingan manusia dari belajarnya sendiri ketika pengetahuan menjadi produk sebuah profesi jasa (guru) dan murid menjadi konsumennya. Kapitalisme pengetahuan pada sejumlah besar konsumen pengetahuan, yakni orang-orang yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari sekolah akan mampu menikmati keistimewaan hidup, punya penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi yang hebat. Pendidikan kemudian dikomersialkan. Sehingga tidak ada kepedulian seluruh elemen pendidikan untuk lebih memperhatikan nasib pendidikan bagi kaum tertindas.

Dalam hal ini teori pendidikannya Paulo Freire mungkin bisa dijadikan rujukan. Freire yang terkenal teori pendidikan pembebasan lebih menojolkan pada pembelaan buat kaum marginal. Menurutnya, pendidikan itu mempunyai dua kekuatan sekaligus: sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni; sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo.

Jika pendidikan dipahami sebagai aksi kultural untuk pembebasan, maka pendidikan tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area pembelajaran di sekolah. Ia harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan publik yang lebih demokratis. Untuk itu, dalam pandangan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality". Dengan demikian, harus ada semacam kontekstualisasi pembelajaran di kelas. Teks yang diajarkan di kelas harus dikaitkan kehidupan nyata. Dengan kata lain, harus ada dialektika antara teks dan konteks, teks dan realitas.

B. Sistem Pendidikan Yang Merata

Pemerataan hendaknya tidak saja dalam ruang lingkup kesejahteraan masyarakat, namun dalam sistem pendidikan pun harus bisa terjangkau oleh semua masyarakat di berbagai daerah. Selain itu pendidikan juga harus bisa menjangkau semua lapisan msyarakat tanpa atribut batasan strata sosial ekonomi mereka. Di sini pendidikan tidak saja ditempatkan sebagai sebuah kawajiban, tetapi peranannya lebih dari pada itu, yakni sudah merupakan kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan negara secara global.

Sentralisasi pendidikan yang selama ini hanya berpatokan pada doktrin aristokrat, sedemikian rupa harus dikembangkan fleksibilitasnya menjadi bagian dari ruang lingkup kegiatan masyarakat marginal. Di mana kompetensi pendidikan lebih didasarkan pada tingkat prestasi siswa, bukan pada standarisasi finansial. Artinya rakyat kecil juga berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu tinggi sesuai dengan prestasi mereka.

Sementara itu, guna memujudkan realitas pendidikan di atas, maka diharapkan lembaga pendidikan tidak sepenuhnya didominasi oleh pengusaha (Pendidikan Swasta). Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa lembaga pendidikan tidak mengejar sisi kualitas peserta didik, tetapi lebih diarahkan pada pemenuhan sarana dan fasilitas pendidikan. Dan ironisnya pengadaan sarana dan fasilitas pendidikan yang mewah cenderung dikuasai oleh lembaga pendidikan swasta. Sehingga masyarakat elit – yang relative mempunyai gaya hidup tinggi – cenderung memilih pendidikan dengan gaya tersebut sebagai pilihannya, yang tentunya dengan biaya yang besar pula. Sedangkan masyarakat miskin lebih memlilih kepada lembaga pendidikan murah, dengan sarana pas-pasan, yang penting dapat ijazah.

B. Minimalisasi Biaya Pendidikan

Dalam upaya mewujudakan pendidikan biaya murah bahkan gratis sangat membutuhkan kajian yang secara diharapkan mampu menemukan solusi terbaik dalam upaya pemecahan masalah seputar pembiayaan pendidikan.

1. Solusi Sistemik

Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.

Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.

2. Solusi Teknis

Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Read more...

Hal-hal yang Mempengaruhi Rendahnya Tingkat Pendidikan

Permasalahan seputar dunia pendidikan adalah masalah yang seolah-olah tidak ada ujungnya. Hal ini lebih didasarkan pada sebab kompleksitas komponen pendidikan yang pada perkembangannya selalu dituntut untuk bisa memenuhi kebutuhan jaman. Sementara dikotomi seputar dunia pendidikan sendiri kurang begitu felksibel memenuhi kebutuhan masyarakat. Masih ada semacam pencampuradukan dalam lingkup strata sosial, strukturisasi birokrat, serta diferensiasi ekonomi yang lebih mendasar.

Di Indonesia fleksibilitas pendidikan masih kering dari tataran persuasivitas. Penanganan yang ideal dari pemerintah selaku pemegang utama kendali pendidikan dirasakan masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tidak saja mencakup sisi futurisme pendidikan, tetapi dalam lingkup pengadaan media pendidikan pun masih sangat carut marut.

Kenyataan akan rendahnya tingkat pendidikan di Indonesia juga dapat dilihat pada data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).

Keadaan yang sama juga bisa dilihat pada survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), di mana kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Ironisnya lagi Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.

Apa yang dirasakan oleh negara tentang adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal adalah memang benar. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, dalam tinjauan praksis seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.

1. Kurangnya Efektifitas Pendidikan Formal

Efektifitas pendidikan adalah dasar utama tercapainya tujuan pendidikan. Pendidikan dikatakan efektif ketika terciptanya sebuah iklim yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) serta peserta didik adalah subyek yang saling berinteraksi dalam proses pembentukan karakter yang membangun.

Tapi dalam kenyataannya, pendidikan relatif dilegitimasi sebagai alat peraih prestise dalam masyarakat. Pendidikan hanyalah bagian dari bentuk formalitas yang tanpa tujuan jelas. Dalam hal ini pendidikan bukan diciptakan atas dasar pembentukan sumber daya manusia yang kompeten, tetapi relatif diprioritaskan untuk pencapain gelar formal semata. Dan mereka tidak peduli dengan apakah bidang keilmuan yang diraihnya sesuai dengan potensi dasar mereka. Dari sini masih ada semacam pencampur-adukan prioritas pendidikan dengan konsep pendidikan hanya sebatas bagian dari gaya hidup. Maka tak jarang jika ketika dalam implementasinya ke bidang pekerjaan tertentu, masih banyak sekali di dapati penempatan individu yang tidak sesuai dengan bidang keilmuannya.

2. Standarisasi Pendidikan Formal

Carut marutnya sistem pendidikan di Indonesia telah memaksa pemerintah untuk membentuk badan standarisai pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar supaya sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia mempunyai patokan dasar yang jelas, demi terwujudnya tujuan pendidikan secara merata.

Namun kenyataan yang terjadi justru malah menenggelamkan persuasivitas pendidikan kearah terjerumusnya sistem. Badan standarisasi pendidikan tidak dijadikan sebagai acuan pembelajaran yang sesuai dengan cita-cita masyarakat bangsa. Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Di mana kualitas pendidikan diukur oleh standard dan kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).

Ironis memang, kecanduan akan bentuk formalitas masih mendominasi sebagian besar para pelaku sistem pendidikan di Indonesia. Begitu juga dengan badan standarisasi pendidikan nasional, di mana selama ini hanya sekedar dijadikan pijakan formal semata. Pemenuhan standarisasi pendidikan hanya berkutat seputar perencanaan kurikulum, sarana dan media pendidikan saja. Sedangkan sistem dan mekanisme pembelajaran yang akurat, fleksibel dan dinamis masih jauh dari harapan.

Jika hal ini dibiarkan secara terus-menerus, maka akan terjadi kemungkinan adanya pendidikan yang terkekang oleh standar kompetensi saja. Dengan begitu peserta didik terkadang hanya memikirkan bagaimana agar mencapai standart pendidikan, dan bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpenting adalah memenuhi nilai di atas standar saja.

3. Terbatasnya Sarana Fisik Pendidikan

Keterbatasan sarana fisik sekolahan adalah problem klasik yang senantiasa merongrong sistem pendidikan di Indonesia. Mulai dari pengadaan meja belajar, alat-alat tulis hingga ke permasalahan gedung sekolah, sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah - khususnya Dinas Pendidikan - yang belum terselesaikan. Hal ini menjadi masalah serius ketika sampai pada saat ini ternyata pemerintah masih cenderung menomorduakan problematika pendidikan sebagai agenda wajib pembahasan masalah negara. Pemerintah terkesan lebih mementingkan kepentingan politik dari pada membahas masalah dunia pendidikan.

Dari sini nampak jelas sekali, pemenuhan komponen pendidikan hanya terbatas pada sisi formalitas saja. Problem belajar-mengajar akan bisa berjalan hanya dengan adanya guru, murid, buku, alat tulis serta lokasi, tanpa memperdulikan kelayakan dan tingkat optimalisasi peralatan tersebut. Pemerintah seakan tak peduli apakah sarana pendidikan tersebut memenuhi syarat atau tidak, bahkan sampai ruang belajar yang rusak serta gedung sekolahan yang mau roboh pun tidak pernah menjadi agenda dasar permasalahan negara.

Hal ini diperkuat lagi dengan adanya data Balitbang Depdiknas (2003) yang menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.

4. Rendahnya Kesejahteraan Guru

”Guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Kata-kata mutiara tersebut mungkin relevan dengan realitas guru di Indonesia. Sekilas mempunyai makna spiritualisasi yang sangat tinggi. Secara tekstual sama sekali tidak ada yang salah dengan kata-kata mutiara tersebut. Oleh karenanya kata-akata tadi selalu menjadi referensi bagi semua masyarakat untuk menunjukkan sisi sosialisasi dan normalisasi mereka, terutama dalam dunia pendidikan.

Tapi kalau kita cermati secara mendalam, kesalahan justru ada pada pemaknaan secara tekstualitas terhadap kata-kata tersebut dalam implementasinya terhadap praksisme pendidikan. Lepas dari tekstualitas kata-kata tadi, pemerintah seolah-olah lupa dan tidak mamandang bahwa secara kodrati guru adalah tetap sebagai person yang membutuhkan kesejahteraan dan tataran hidup yang mapan selayaknya provesi lain yang lebih menjanjikan. Apa yang selama didapat oleh guru sama sekali tidak sebanding dengan kontribusi jasa mereka. Guru hanya sebatas simbol profesi kemanusiaan di dalam bingkai pengabdian. Oleh karenanya wajar jika di berbagai daerah muncul beberapa aksi komunitas guru untuk menuntut hak dan privasi mereka yaitu kesejahteraan hidup.

Kalau hal tersebut dibiarkan tanpa ada tindakan preventif dari pemerintah, maka bukan tidak mungkin dampak yang muncul ke permukaan – sebagai sisi kausalitas dari fenomena di atas – adalah penyelewengan wewenang, pengendapan provesi serta pembelokan kaidah. Di antara akibat itu adalah:

  • Menurunnya kualitas guru yang pada kelanjutannya akan berdampak pula pada rendahnya kualitas pendidikan serta tereliminasinya potensi peserta didik. Mekanisme kerja guru akan menjadi asal-asalan dan tidak optimal.
  • Provesi guru akan beralih kepada hanya sebagai sambilan kerja. Karena sifatnya sambilan, maka segala kewajiban yang bersangkut paut dengan guru dengan sendirinya akan bersifat skunder. Guru bukan lagi diproporsikan sebagai profesi tetap dan optimalisasi kerja pun bukan disesuaikan dengan tuntutan tetapi lebih kepada pendapatan.
  • Semakin sedikit peminat profesi guru. Hal ini hampir bisa dipastikan, mengingat kesenjangan sosial dirasakan semakin meningkat. Dalam kurun waktu yang tidak begitu lama mungkin akan semakin sulit mencari calon-calon guru muda sebagai bagian dari regenerasi guru.


5. Mahalnya Biaya Pendidikan

Biaya pendidikan adalah faktor klasik yang masih menjadi akar dari semua permasalahan di dunia pendidikan. Kompleksitasnya telah dengan sukses melegitimasi ruang gerak eksistensi pendidikan. Di Indonesia faktor tersebut selama ini masih hanya terbatas pada wacana yang entah kapan dapat terealisasikan. Karena ia adalah akar permasalahan di masyarakat, maka tak heran jika biaya pendidikan banyak dijadikan propoganda dari setiap kampanye politik, guna mengukuhkan eksistensinya. Hampir di setiap struktur birokrasi selalu menyuarakan biaya pendidikan rendah bahkan gratis demi kelancaran sebuah karier politik, baik yang sifatnya pribadi maupun partai. Ironisnya, dari sekian banyak program yang dijanjikan, selama ini belum ada satupun program pun yang terealisasikan secara persuasif.

Kondisi ini diperparah lagi dengan rencana pemerintah lewat Depdiknas yang akan membagi jalur pendidikan menjadi dua kanal, yaitu: jalur pendidikan “formal mandiri” dan “formal standar”. Hal ini jelas mengandung asumsi di mana pendidikan bukan saja dinilai berdasarkan atas perbedaan kelas sosial dan ekonomi, namun juga atas dasar kemampuan akademik, dalam pengertian masyarakat bodoh dan miskin sama sekali tidak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Dengan demikian, pendidikan akan terkelola seperti halnya perusahaan, di mana kualitas pendidikan relative lebih didasarkan pada faktor financial, dan bukan atas dasar terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Dari sini pemerintah seolah-olah ingin membelokkan tujuan pendidikan kearah privatisasi pendidikan., di mana tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan relative terkurangi bahkan lepas sama sekali.

Secara empiris, kenyataan ini juga bisa dilihat pada anggaran pendidikan di Indonesia selama ini, di mana dari anggaran total pendidikan ‘hanya; dialokasikan di bawah 105 dari APBN, padahal dalam pasal 31 ayat 4 UUD 1945, secara jelas pemerintah mempunyai suatu kewajiban konstitusi untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan. Rinciaan Alokasi dana pndidikan pada tahun 2005 hanya sebesar 8,1% dari APBN, sedangkan pada tahun 2006 sebesar 9,1%. Meskipun pemerintah dan DPR sudah memiliki kesepakatan untuk menaikkan anggaran secara bertahap 2,7%/tahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6% (2004), 9,29% (2005), 12,02% (2006), 14,68% (2007), 17,40% (2008), dan 20,10% (2009), namun nota kesepatan tersebut sudah diingkari. Dapat kita bayangkan jika kenaikan bertahap 2,7%/tahun saja tidak terpenuhi, maka lompatan besar peningkatan anggaran dalam tahun 2008 tentu jauh dari harapan. Hal tersebut juga masih jauh dari target kesepakatan yang dihasilan dalam KTT menteri pendidikan se-Asia Tenggar tahun 1992, yaitu minimal 25% dari APBN.

Gambaran nuansa privatisasi pendidikan di atas, juga sudah terlihat dalam legalitas pendidikan nasional. Aromanya dimulai dari munculnya sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Hal itu terlihat dari turunnya derajat "kewajiban" pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pendidikan dasar rakyat, menjadi kewajiban bersama dengan masyarakat. Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada.

Padahal, masih dalam UU Sisdiknas, tepatnya pada Pasal 1, Bab 1, tentang ketentuan umum, Ayat (18), dengan jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab tunggal terhadap terselenggarakannya wajib belajar bagi warga negara Indonesia. Berikut bunyi ayatnya, ""Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah".

Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional". Kemudian, diperjelas lagi pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) penjelas dari UU Sisdiknas Pasal 3 Ayat (3), dengan menyatakan bahwa "setiap warga negara usia wajib belajar berhak mendapatkan pelayanan program wajib belajar yang bermutu tanpa dipungut biaya".

Dari kenyataan di atas, nampak ada semacam proses pembodohan masyarakat, di mana masyarakat sengaja dibiarkan pada posisinya yang bodoh, miskin dan terbelakang. Entah atas dasar pengukuhan otoriterisme atau atas dasar efektifitas anggaran Negara, namun yang jelas masyarakat dibiarkan dalam bingkai kebodohan, pengekangan kebebasan pendidikan serta isolasi eksternal dalam proses pengembangan wawasan.
Read more...

Masalah Seputar Pendidikan di Indonesia

Paradigma pendidikan Indonesia dalam proses perkembangannya selalu tidak bisa lepas dari education problematic. Mulai dari permasalahan seputar gaji guru, sistem pengelolaan infrastruktur sekolah yang carut marut hingga kepada masalah biaya sekolah yang relatif mahal dan tidak terjangkau oleh masyarakat kecil. Hal ini bukanlah masalah baru di dunia pendidikan kita. Ada semacam kesengajaan yang mengharuskan masyarakat untuk terus berkeluh kesah tentang bagaimana dan seperti apa rasanya mendapatkan pendidikan murah bahkan gratis. Benturan ideologi seputar susahnya mengenyam pendidikan atas, serta aspek revivalisasi pengembangan masa depan masyarakat yang cerah nampak masih terbatas pada tataran imaginatif. Pendidikan bukanlah sesuatu keharusan akan tetapi pendidikan adalah barang mewah yang harus dibayar dengan mahal.

Kondisi ini tanpa disengaja sangat mempengaruhi realitas masyarakat secara umum. Masyarakat akan menjadi tidak bisa memahami faktor empiris yang terjadi di sekitarnya. Bahkan dalam proses perkembangannya masyarakat akan menjadi tidak kreatif, chauvinis dan cenderung tertutup. Reaksi aktif terhadap rangsangan peradaban plural darasakan kurang begitu massif. Problematika ini semakin menggejala ketika pemerintah sama sekali tidak begitu serius dalam menangani masalah pembiayaan pendidikan nasional.

A. Dampak Rendahnya Tingkat Pendidikan Terhadap Masyarakat.

Pendidikan memegang peranan penting dalam proses pembentukan masyarakat madani. Tingkat pendidikan yang rendah akan memunculkan paradigma baru seputar kebobrokan nilai-nilai budi dan runtuhnya normalisasi masyarakat. Banyak hal yang akan terjadi sebagai bentuk akibat dari rendahnya pendidikan lokal. Di antaranya:

1.Melonjaknya Angka Pengangguran

Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin majemuk dalam segala sektor, maka apapun sesuatu yang menjadi hasil pemikiran manusia, baik dari hasil tehnologi, kultural, sampai kepada homogenitas sosial masyarakat akan sangat membutuhkan konsepsi-konsepsi teoritis dan praksis dalam mensikapi dampak multikultural, mobilisasi tehnologi, serta pluralisasi peradaban global. Produk-produk dunia modern tersebut bukanlah merupakan menu sajian yang siap pakai, dia adalah bagian dari sistem yang membutuhkan proses pemikiran yang luas, ketrampilan yang mendukung serta parksis yang meyakinkan. Paradigma seputar perkembangan jaman bukanlah hanya sebatas wacana. Dia adalah bagian dari konsepsi hasil pemikiran futuristis, yang mana akan selalu inovatif berkembang dengan konsepsi-konsepsi yang baru pula.

Dalam mensikapi hal tersebut di atas, manusia tidak hanya butuh sebatas rekonstruksi, akan tetapi lebih dari itu. Revitaslisasi pemikiran tentang dampak liberalisme dalam hal ini sangat diperlukan. Untuk itu, idealisme yang kuat serta pemikiran yang luas dari berbagai disiplin ilmu harus benar-benar dipersiapkan dari awal. Dan semua itu hanya bisa di dapat dari sistem pendidikan yang jelas, akurat dan terpadu.

Dari uraian di atas, nampak jelas sekali bahwa dalam rangka menghadapi era liberalisasi dan modernisasi yang semakin kompleks, sangat diperlukan para konseptor pintar dan tenaga ahli yang siap pakai. Mereka dengan sendirinya akan ditempatkan pada bidang kerja (job description)secara porporsional sesuai dengan basic intelectual masing-masing.

Sementara itu mereka yang merasa tingkat pendidikannya rendah, secara otomatis akan tergeser dan lebih bersifat non-fungsional. Mereka akan merasa terbatasi daya jangkau serta kreatifitasnya. Mereka akan lemah, apatis dan menjadi korban liberalisme. Pengekangan wawasan terhadap kinerja yang kompetitif, telah menempatkannya ke dalam kelompok minoritas. Ironisnya, jika hal ini terus dibiarkan berkembang di negara ini, maka yang akan muncul ke permukaan adalah terciptanya komunitas pengangguran dengan skala besar. Sehingga dalam proses kelanjutannya, akan tercipta eksodusisme tenaga kerja ke luar negeri secara kontinu. Dan kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan muncul semacam intervensi sosial, moral hingga kebudayaan.

Selain itu pengangguran sangat identik dengan kemiskinan. Sedangkan kemiskinan itu sendiri salah satu problem pemerintah yang sampai saat ini belum mendapat penyelesaian secara matang. Oleh karenanya tingkat pendidikan yang rendah dalam masyarakat sangat berpotensi untuk menumbuhkan gejala pengangguran dalam sekala besar dan bertahap.

2.Rendahnya Tingkat Kesadaran Masyarakat Akan Hukum dan Peraturan

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat akan sangat berpengaruh kepada tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum dan peraturan pemerintah. Karena di sini pola pikir masyarakat akan terbatasi oleh kebutuhan harian yang lebih mendesak. Konsep menghalalkan segala cara akan menjadi doktrin baru yang lebih dominan. Dengan tanpa memperdulikan hukum dan peraturan yang diterapkan, mereka akan tetap berusaha untuk mendapatkan segala bentuk kebutuhan pribadi, tanpa melihat dan memahami akan pentingnya sebuah hukum dan peraturan. Bagi mereka hukum dan peraturan adalah milik negara, sedang pemenuhan kebutuhan hidup adalah urusan mereka.

Di sini nampak ada semacam kesenjangan pola pikir yang lebih relevan antara kesadaran masyarakat yang relatif rendah dengan eksistensi tatanan birokrasi pemerintahan yang - mungkin - cenderung mendikte. Benturan terhadap otorisasi liberalisme dan modernisme sama sekali tidak memberikan ruang gerak kepada masyarakat yang berpola pikir rendah untuk mengembangkan eksistensi mereka. Atas dasar fenomena inilah maka pemerintah tidak akan bisa berbuat banyak dalam rangka proses pengentasan masyarakat ke arah kehidupan yang lebih persuasif. Dalam hal ini pemerintah adalah pemerintah yang bernaung di bawah komunitas otoritarisme, sedangkan masyarakat kecil akan tetap di proporsikan sebagai kelompok minoritas yang cenderung marginal, primordial, bodoh dan sempit fikir. Hubungan masyarakat dengan pemerintah bukanlah merupakan mata rantai yang saling menaungi, melindungi dan menguntungkan. Tidak ada transformasi tata nilai maupun benang penghubung yang harmonis di antara keduanya.

Berpijak dari itulah, maka masyarakat sendiri akan selalu beranggapan bahwa pemerintah hanya bisa memberi hukum, sanksi dan peraturan. Sedangkan masalah pengangkatan taraf hidup mereka yang lebih layak, sama sekali tidak masuk dalam program kerja pemerintah. Itu lah yang mendasari kenapa masyarakat relatif kurang sadar terhadap tata nilai, hukum dan peraturan. Padahal kalau kita kaji secara mendalam faktor rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, dirasakan tidak mampu membackup mobilisasi perkembangan jaman. Sedangkan pemerintah sendiri tidak akan mampu memberikan jaminan akan kehidupan yang layak tanpa adanya dorongan internal dari masayarakat itu sendiri.

3. Kurangnya Kesadaran Multikulturalisme

Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi integrating force dalam rangka mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi 1998 dan munculnya krisis moneter serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.

Dalam berbagai kajian kita selalu melegitimasi factor ekonomi sebagai sebab timbulnya pertikaian antar etnis tersebut. Padahal kalau dicermati secara mendasar, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat adalah factor yang paling bertanggung jawab terhadap pertikaian tadi. Rendahnya pendidkan dirasakan kurang mampu memberi solusi praksis terhadap pluralisasi peradaban serta kemajemukan multikultural. Masyarakat akan senantiasa mengklaim egoisme dan arogansi pribadi dari pada kepentingan golongan.

Dalam tataran ini masyarakat akan cenderung primordialis. Di mana perbedaan-perbedaan yang berasal dari genetika seperti suku, ras (dan juga agama) merupakan sumber utama lahirnya benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama. Selain itu mereka sering kali menjadikan suku, agama dan identitas yang lain dianggap sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok untuk mengejar tujuan yang lebih besar, yang tentunya sangat bersifat kompetitif. Bahkan ada kecenderungan ke arah rivalisasi etnis.

Melihat fenomena di atas, mungkin ceritanya akan menjadi lain ketika tingkat pendidikan masyarakat cukup memadahi. Yang tentunya akan membawa mereka juga ke arah pola kesadaran yang lebih tinggi. Akan ada semacam kesadaran etnisitas yang secara otomatis akan tertanam dalam jiwa mereka. Di sini setiap orang akan senantiasa mau mengalah dari prefence yang dikehendaki elit, sehingga secara praksis benturan antar kelompok identitas dapat dihindari bahkan tidak terjadi. Masyarakat akan dengan sendirinya mengakui adanya keragaman suku dan ras.

Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan multikultural yang diterapkan oleh R. Stavenhagen, di mana mengakui adanya keragaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dalam tulisannya; “Religious, linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the interest of the state and the dominant society. While many people... had to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through national institutions, including the educational and legal system.”

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa panda dasarnya Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Read more...

Konsep Strategi Pendidikan dan Masyarakat

Dalam proses rekonsiliasi kehidupan manusia, pendidikan memegang peranan vital sebagai landasan pacu menuju persuasivitas. Pendidikan tidak saja membentuk karakter manusia menjadi pribadi-pribadi yang mempunyai pola pikir ke depan, akan tetapi pendidikan juga diharapkan mampu merevitalisasi manusia menjadi subyek perfectionalitas. Oleh karenanya pendidikan masih menjadi suatu keharusan bagi setiap individu guna mengembangkan potensi dan kreativitas mereka. Itulah sebab kenapa manusia dilahirkan dengan dibekali akal dan fikiran yang membedakannya dengan makhluk lain. Akal dan fikiran inilah yang pada tingkat selanjutnya paling bertanggung jawab dalam proses pembentukan pribadi manusia lewat jalur pendidikan.

Sementara itu pada dasarnya pendidikan bersifat fleksibel, artinya obyek pendidikan tidak mengenal status sosial dalam masyarakat. Siapapun dan dalam konteks apapun, pendidikan akan selalu bisa mengalir dalam diri setiap manusia. Konsep ini akan menjadi penting ketika basic personality serta strukturisasi akademik bisa berjalan secara berkesinambungan. Hal ini tidaklah mudah, mengingat eksistensi pendidikan saat ini nampak lebih mengedepankan basic financial serta tingkat strukturisasi birokrat. Artinya pendidikan adalah milik kaum aristokrat, sementara buat rakyat kecil selama ini pendidikan hanyalah sebatas wacana.

Oleh karena itu, guna mewujudkan tujuan pendidikan, perlu semacam strategi yang bisa menjembatani masyarakat marginal dalam usaha pencapaian pendidikan yang layak. Yang jadi permasalahan di sini adalah Strategi pendidikan seperti apakah yang harus diterapkan dalam rangka mengakstualisasikan konsep di atas dalam tataran yang lebih massif?

Dari uraian di atas nampak ada tiga istilah yang bersifat konseptual yang akan penulis jelaskan dalam bab Pendahuluan ini, yaitu KONSEP STRATEGI, PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT.

A. Konsep Strategi

Kata "strategi" adalah turunan dari kata dalam bahasa Yunani yaitu “strategos”. Adapun strategos dapat diterjemahkan sebagai 'komandan militer' atau “perwira perang”. Sedangkan secara terminologi Strategi adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu, yang umumnya adalah "kemenangan". Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali mencampuradukkan ke dua kata tersebut. Pada awalnya kata ini dipergunakan untuk kepentingan militer saja tetapi kemudian berkembang ke berbagai bidang yang berbeda seperti strategi bisnis, olahraga (misalnya sepak bola dan tenis), catur, ekonomi, pemasaran, perdagangan, manajemen strategi, dll.

Sedangkan menurut sumber lain “Strategi” adalah ilmu dan seni menggunakan kemampuan bersama sumber daya dan lingkungan secara efektif yang terbaikDari beberapa pengertian tentang strategi di atas ada semacam konkruensi dalam proses penerapan pendidikan bagi masyarakat marginal secara umum. Yakni rencana ke depan tentang bagaimana supaya kapabilitas pendidikan tidak saja terbatas pada otorisasi penguasa serta kaum aristokrat semata, tetapi lebih diprioritaskan pada kepentingan masyarakat marginal secara luas. Dengan didasarkan pada sumber daya manusia serta bentuk reaksi aktif dari lingkungan di sekitarnya.

B. Konsep Pendidikan

Pendidikan pada dasarnya merupakan proses interaksi antara pendidik dan peserta didik baik di dalam keluarga, sekolah maupun di masyarakat. Sedangkan pendidikan dalam pengertian yang lebih luas adalah proses interaksi antara manusia sebagai individu dan lingkungan alam semesta, lingkungan sosial, masyarakat, sesial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budayaSedangkan menurut Asian Brain, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.

Dalam konteks pendapat di atas, terdapat ruang wacana bahwa pada dasarnya pendidikan adalah praksis dari sebuah sistem. Oleh karenanya pendidikan tidak saja hanya terbatas pada dikotomik yang plural. Ia adalah proses transformasi dari berbagai disiplin pemikiran kearah terwujudnya masyarakat madani. Pendidikan di sini dimaknai bukanlah sebagai sebuah paradigma yang mati, beku dan hanya terbatas pada teori akademik. Rekonstruksi seputar praksis formalis lebih dikembangkan kearah yang lebih luas. Sesuai dengan esensi pendidikan itu sendiri yaitu sebagai proses transformasi, maka dalam konteks ini pendidikan relatif memegang peranan yang tidak hanya terbatas pada proses pembelajaran bangku sekolah, tetapi lebih dari itu yakni mentransformasikan ideologi referensial ke arah pembentukan masyarakat yang beradab dan berakal budi tinggi.

C. Konsep Masyarakat

Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri, perasaan, keinginan dan sebagainya, manusia memberi reaksi dan melakukan interaksi dengan lingkungannya. Pola interaksi sosial dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan dalam suatu masyarakat.

Sementara itu ada beberapa pendapat mengenai pengertian masyarakat itu sendiri. Di antaranya adalah:
  • Menurut Selo Sumardjan, masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan
  • Menurut Karl Marx, masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
  • Menurut Emile Durkheim, masyarakat merupakan suatu kenyataan objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya.
  • Menurut Paul B. Horton & C. Hunt, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok / kumpulan manusia tersebut.
Dalam sebuah negara, masyarakat memiliki peranan yang sangat signifikan. Kepekaan dalam proses interaksi dengan dunia luar serta urgensitas teritorial sebuah negara sangat tergantung dengan kualitas dan kuantitas sebuah masyarakat. Bahkan dalam lingkup yang lebih massif, maju dan berkembangnya sebuah negara terletak pada tingkat pluralisasi peradaban serta kesejahteraan masyarkat itu sendiri. Masyarakat adalah barometer sekaligus komponen terbesar dalam sebuah negara.

Dalam perkembangannya masyarakat akan selalu membutuhkan semacam konduksi dalam hubungan interpersonal. Hal ini merupakan sebuah keharusan mengingat masyarakat adalah bejana multikultural.

Untuk itu di sini fleksibelitas pendidikan sangat diperlukan. Akan seperti apa jadinya jika dalam proses multikulrisasi tadi tanpa sedikit pun adanya sentuhan nilai-nilai pendidikan di dalamnya serta sudah terjangkaukah pendidikan buat masyarakat?
Read more...
 
 

Designed by: Compartidísimo
Scrapping elements: Deliciouscraps©